PEMBINAAN PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI
MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(PAK – PKn)
DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
KEGIATAN PEMBINAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN
KEPRIBADIAN
JAKARTA, 2009
A. Latar Belakang
Istilah korupsi saat ini semakin “trend” dan
banyak diperbincangkan masyarakat, baik masyarakat kota maupun pedesaan, dari
anak-anak sampai pada orang dewasa, bahkan dari elit politik sampai masyarakat
awam. Jika ditilik latar belakangnya, korupsi sebenarnya ada sejak masa sebelum
penjajahan, masa penjajahan, masa kemerdekaan baik pada masa oerde lama, orde
baru, reformasi, bahkan saat ini (pasca reformasi) korupsi semakin marak,
tersistem dan canggih dalam pelaksanaannya. Pemerintah pada masanya telah berupaya
melakukan pencegahan dengan berbagai cara seperti dikeluarkan peraturan perundang-undangan dan penindakan
bagi pelaku. Namun demikian, korupsi tetap ada dan berlangsung hingga saat ini
seperti mata rantai yang silih berganti selalu muncul di setiap saat.
Permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia, sebagai mana juga di Korea
Selatan dan negara komunis pada umumnya terjadi karena dimensi birokrasi sampai
dengan budaya. King (2000) menunjukkan bagaimana korupsi dimulai sejak dua
dekade lalu melalui kerjasama antara pengusaha Lim Soe Liong dengan Soeharto
yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun telah menghasilkan kolusi yang saling
menguntungkan. Gama Agung (2007) mengajukan dua jenis motivasi yang menyebabkan
terjadinya korupsi yaitu kebutuhan dan keinginan. Korupsi dilakukan oleh
seseorang karena dengan cara normal tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Di lain
pihak korupsi karena keinginan mendorong orang
untuk menjadi serakah. Meskipun demikian kedua jenis motivasi tersebut
tidak dapat dilakukan demarkasi secara jelas. Lain halnya dengan
Taufiequrachman Ruki, mantan ketua KPK (Wikipedia, ensiklopedia bebas, 2007)
yang mengemukakan jenis motivasi menjadi corruption by needs, corrupstion by
greeds dan corruption by opportunities. Namun demikian maksud dari
dua pendapat tersebut relatif senada bahwa korupsi dilakukan oleh seseorang
karena dorongan kebutuhan, untuk memenuhi kebutuan tersebut muncul keinginan
untuk serakah, dan ketika kedua dorongan tersebut menguat ditambah adanya
kesempatan maka terjadilah perilaku korupsi yang tak terelakkan lagi.
Korupsi dapat juga terjadi karena faktor budaya. Argumentasi yang
dikemukakan oleh Peter Vershezen pada Simposium Jurnal Antropologi III Di
Denpasar pada pertenganhan Juli 2002 terdapat perbedaan antara suap dan
pemberian. Suap mempunyai kontasi negatif karena erat kaitannya dengan korup,
sedangkan pemberian mempunyai konotasi kultural yakni sebagai ungkapan rasa
hormat atau kasih sayang (Kompas, 31 Juli 2002). Namun pemberian tidak lagi
mempunyai konotasi kultural ketika hal itu terjadi antara bawahan dengan atasan
atau birokrat yang mempunyai kewenangan dengan rekanan. Pemberian tersebut
masuk dalam kategori gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya (UU No.31/1999 yo
UU No. 20/2001 Bab penjelasan Pasal 12B Ayat 1).
Upaya pencegahan telah dilaksanakan oleh pemerintah yaitu dengan membentuk
lembaga pemberangus korupsi, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi di tahun
1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di
tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi (KPK). Tindakan terhadap pelaku/koruptor
juga kerap dilakukan dengan menangkap dan menjebloskannya ke penjara. Namun
tindakan tersebut tidak membuat jera masyarakat, koruptor junior terus
bermunculan, mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan penetapan
berbagai peraturan perundang-undangan, namun oleh karena korupsi merupakan
multidimensi maka solusi untuk memberantas korupsi tidak harus melalui jalur
peraturan perundang-undangan atau hukum saja. Pemberantasan korupsi dapat
dilakukan dengan membangun filosofi baru berupa penyemaian nalar dan
nilai-nilai baru bebas korupsi melalui jalur pendidikan, karena pendidikan
memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi. Sektor
pendidikan formal dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi
sebagai preventive strategi. Dalam hal ini peserta didik dijadikan
sebagai target sekaligus diberdayakan sebagai penekan lingkungan agar tidak permissive
to corruption dan bersama-sama bangkit melawan korupsi.
Peserta didik adalah mereka yang dalam waktu relatif singkat akan
segera bersentuhan dengan beberapa aspek pelayanan publik, mereka adalah “student
today leader tomorrow”. Mereka
merupakan generasi yang akan mengganti generasi sekarang menduduki
berbagai jabatan baik di birokrasi maupun perusahaan dan sebagian diantara
mereka akan menjadi pengambil kebijakan. Adanya persepsi bahwa korupsi adalah tindakan
yang melanggar dan bertentangan dengan berbagai norma dan peraturan
perundang-undangan, diharapkan akan diikuti berbagai tindakan dan kebijakan
ketika sebagian dari mereka menjadi pengambil kebijakan di masa depan. Hal ini
dapat terwujud apabila mereka sudah dibekali pemahaman terhadap lingkup, modus,
dan dampak dari korupsi baik dalam lingkup yang paling dekat dan skala terkecil
hingga lingkup makro dan mencakup skala besar.
Selain itu, ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat
respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia
terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan
pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif
besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan anti-korupsi
bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia. Jajak pendapat
itu menjaring pula pendapat masyarakat seputar pentingnya pendidikan
antikorupsi. Masyarakat berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan
seputar korupsi dan bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi
terhadap hukum, serta memutus mata rantai korupsi. Selanjutnya, masyarakat
berkeinginan agar upaya pendidikan anti-korupsi berjalan paralel dengan upaya
lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi pengawasan yang ketat,
sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara berkala dan
berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam birokrasi (Djabar,
2008).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Departemen Pendidikan Nasional
melalui Direktorat Jenderal Mananjemen Pendidikan Dasar dan Menengah menyelenggarakan
Pendidikan Anti-Korupsi melalui Kegiatan Pembinaan Pendidikan Kewarganegaraan
dan Kepribadian untuk satuan pendidikan tingkat sekolah dasar (SD), sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).
B. Pendidikan Anti Korupsi (PAK)
Korupsi dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan
untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk
mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas
setiap bentuk tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Korupsi seakan-akan sudah membudaya di negeri ini, karena sejak sebelum penjajahan Belanda
(masa kerajaan di nusantara) korupsi sudah ada. Anderson (1972) mengatakan bahwa sebelum jaman penjajahan (jaman kerajaan di
nusantara), jaman kemerdekaan 1945 hingga kini masih ada korupsi, walaupun
sudah ada upaya-upaya melalui sistem nilai baru
untuk memberantas korupsi. Sejalan pendapatnya King (2000) menambahkan
bahwa korupsi malah merajalela saat penjajah Belanda sampai Indonesia
mendeklarasikan kemerdekaan 1945. Herbert Peith (1962) menuturkan bahwa lepas
dari belenggu penjajah, masih terdapat korupsi, namun sementara waktu korupsi menurun. Para pengamat menganalisis,
bahwa hal itu disebabkan oleh masih tingginya idealisme yang dimiliki oleh
kalangan birokrat, pejuang dan penggerak revolusi masih bersih, idealisme dan
nasionalisme yang lagi dalam puncaknya (Buchori, 2007). Sehingga orang masih
enggan atau malu akan melakukan korupsi.
Pasca
reformasi, korupsi semakin menggejala dan semakin tersistem karena banyak
melibatkan orang, instansi ataupun organisasi sosial serta LSM. Terbukti di
media massa menunjukkan banyak pejabat negara, pimpinan lembaga, LSM terlibat
kasus korupsi dan banyak pula yang sudah divonis dan dipenjarakan. Namun tindakan
tegas yang dilakukan pemerintah sepertinya tidak memberikan efek jera terhadap
pelaku-pelaku korupsi. Ini menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan korupsi
terkait erat dengan sikap mental seseorang terhadap sistem nilai yang diwarisi.
Oleh karena itu Pendidikan Anti Korupsi sangat penting dilakukan melalui jalur
pendidikan, dengan harapan agar generasi muda secara sadar mampu membangun
sistem nilai yang baru yaitu anti korupsi.
Pendidikan
Anti-Korupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena pendidikan
merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang,
dan melalui jalur ini lebih tersistem
serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku anti korupsi. Perubahan dari
sikap membiarkan dan memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan
korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan
generasi mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang diwarisi (korupsi) sesuai
dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap pernjalanan bangsa.
Sistem
nilai adalah keseluruhan norma-norma etika yang dijadikan pedoman oleh bangsa
untuk mengatur perilaku dari semula sikap membiar-kan, memahami, dan memaafkan
korupsi ke sikap menolak secara tegas dan ini hanya akan terjadi setelah lahir
generasi yang mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam sistem yang
mereka warisi dan mampu memperbaharui sistem nilai warisan itu berdasarkan
situasi baru (Buchori, Muchtar, 2007 dikutif dari Kompas, 21 Februari 2007). Pada
dasarnya sistem nilai yang lebih baik, datang dari berbagai pengalaman nyata
dari perjalanan suatu bangsa yang bersifat dramatis yang lahir dari
kontemplasi mendalam mengenai makna
aneka peristiwa kehidupan yang dijumpai selama suatu kurun waktu. Dalam
konteks pendidikan, ” mencabut korupsi sampai se akar-akarnya” berarti
melakukan serangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang tidak bersedia
menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi. Oleh karena itu harus dilakukan
usaha-usaha untuk melahirkan perubahan radikal dalam sikap bangsa terhadap
korupsi.
Berdasarkan uraian tersebut, Pendidikan Anti Korupsi menfokuskan
pada penanaman nilai-nilai pada generasi
muda, sehingga akan muncul sistem nilai baru yang terinternalisasi pada diri
generasi muda sebagai pedoman hidup (tidak melakukan korupsi) dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Anti-Korupsi yang perlu
ditanamkan kepada generasi mudah melalui jalur pendidikan yang direkomendasikan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur,
sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli (sembilan nilai).
Franz Magnis Suseno (dalam Djabar, 2008) mengemukakan,
terdapat tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal
terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur
berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya.
Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan
menghancurkan komunitas bersama. Peserta didik perlu belajar bahwa berlaku
tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk. Adil berarti memenuhi hak orang
lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis
mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik.
Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh dan tekun
melaksanakan tugas/kewajiban hingga tuntas. Misalnya, peserta didik diberi
tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung
jawab peserta didik terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan
kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah
bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi orang yang
bermutu sebagai manusia (Faisal Djabar, 2008).
Selanjutnya, dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 dinyatakan secara eksplisit bahwa: “
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.” Dengan
demikian, pembinaan pendidikan anti-korupsi pada jalur pendidikan di seluruh
satuan pendidikan (sekolah) merupakan wahana untuk mendukung dan mewujudkan
fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut.
Untuk mewujudkan
Pendidikan Anti-Korupsi, pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada
tataran moral action, agar
peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki
kemauan (will),
dan kebiasaan (habit)
dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak
sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang
berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga
sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara
terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta
didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual,
yaitu memiliki kecerdasan, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan
salah, serta menentukan mana yang bermanfaat. Kecerdasan emosional,
berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang
lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Kecerdasan sosial, yaitu
memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja
sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu
memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar
berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur,
pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik,
adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan
jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya. Maka sosok manusia
yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi
dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Karena proses pembinaan
yang berkelanjutan dimulai dari proses moral
knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action, maka
implementasi pembinaannya perlu ditindaklanjuti dengan membangun ”kantin
kejujuran” di sekolah sebagai praktik moral action yang harus
dirancang sesuai dengan muatan sifat edukasi. Hasil yang diharapkan dari
intervensi di jalur pendidikan adalah: Kaum muda khususnya pelajar dapat lebih
memahami tindak pidana korupsi, dan mulai berani berkata “TIDAK' untuk korupsi,
dan pada gilirannya dapat mewarnai, mendorong masyarakat dan lingkungan
sekitarnya untuk bersama-sama bangkit melawan korupsi. Dengan kondisi demikian
diharapkan dapat membawa negeri ini keluar dari perangkap korupsi serta
mengembalikan kewibawaan serta harga diri bangsa.
C. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Secara
kebijakan PKn adalah nama salah satu mata pelajaran sebagai muatan wajib dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Pasal 37 Ayat 1 UU SPN). Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
Tentang Standar Isi ditegaskan bahwa PKn termasuk cakupan kelompok mata
pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, dimaksudkan untuk peningkatan
kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas
dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu kehidupan yang demokratis dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat,
pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal,
dipahami, diinternali-sasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan
prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu perlu pula ditanamkan kesadaran wawasan
kebangsaan, jiwa patriotisme dan bela negara, penghargaan terhadap hak asasi
manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender,
demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak,
dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sedangkan secara
konsep, PKn merupakan keseluruhan program sekolah, seperti yang dikemukakan
Jack Allen bahwa:
Citizenship
Education, properly defined, as the product, of the entire program of the
school, certainly not simply of the social studies program, and assuredly not
merely of a course of civics. But civics has an important function to perform,
it confronts the young adolescent for the first time in his school experience
with a complete view of citizenship functions, as rights and responsibilities
in democratic context. (Somantri, Numan, 2001: 283).
Dari definisi tersebut
dapat dikatakan bahwa PKn merupakan hasil dari keseluruhan program sekolah yang
meliputi pembelajaran, model/metode pembelajaran, aktifitas peserta didik,
pengalaman peserta didik, dan fungsi peserta didik sebagai warganegara dengan
segala hak dan tanggung jawab-nya dalam suasana yang demokratis. Dengan
demikian PKn bukan hanya mempelajari materi kewarganegaraan, melainkan harus
melakukan sesuatu sesuai dengan hak dan kewajibannya, dan secara lebih luas
meliputi pengaruh belajar di luar kelas/sekolah/masyarakat, dan pendidikan di
rumah. Selanjutnya dengan mempelajari PKn diharapkan setiap peserta didik
dapat menjadi warga negara yang baik, memahami hak dan kewajibannya yang
diwujudkan melalui partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dalam suasana yang demokratis dengan tetap berlandaskan pada
Pancasila dan UUD 1945.
National
Council for the Social Studies atau NCSS (1970: 10) merumuskan bahwa PKn
merupakan gabungan dari seluruh hal positif yang menunjukkan peran serta warga
negara terhadap negaranya. PKn bukan hanya dipelajari peserta didik di dalam
kelas, namun dapat dipelajari di lingkungan masyarakat dari kelompok masyarakat
terkecil yaitu keluarga sampai dengan kelompok masyarakat secara luas yaitu
bangsa dan negara. Dengan demikian setelah mempelajari PKn diharapkan peserta
didik dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari sebagai
warga negara yang baik (good citizenship). Pentingnya peran warga negara
didukung oleh Quigley dan Hoar (1999: 124) bahwa peran warga negara dalam
perkembangan budaya politik ditujukan untuk demokrasi, artinya warga negara
memiliki kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki lembaga-lembaga demokrasi.
Dengan demikian, PKn merupakan program pendidikan yang digunakan untuk membantu
generasi muda (peserta didik) memperoleh pemahaman tentang hal-hal yang
berkaitan dengan negara seperti pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga, hak
asasi manusia, demokrasi, hukum dan peradilan serta dapat berpartisipasi aktif
secara kritis analitis, bersikap dan bertindak secara demokratis.
Berdasarkan
paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna PKn (Indonesia) adalah
pengorganisasian dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan penekanan
pada pengetahuan dan kemampuan dasar tentang hubungan antar
warganegara dan warganegara dengan negara yang dilandasi keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai luhur dan moral budaya bangsa,
memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dengan memperhatikan
keragaman agama, sosio-kultural, bahasa, dan suku bangsa, dan memiliki jiwa
demokratis yang diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dengan
kata lain bahwa materi PKn terdiri dari beberapa disiplin ilmu yang memerlukan pengorganisasian materi secara sistematis dan
pedagogik yang dapat dilihat pada bagan berikut.
Hukum
Politik
Tatanegara
Psikologi
Pancasila Nilai-nilai
Disiplin Budi Pekerti
Ilmu lainnya
Pengorganisasian PKn (Fajar, Arnie: Tesis
2003)
Selanjutnya, secara filosofis PKn
adalah mengkaji bagaimana warganegara bertindak, dalam arti melakukan sesuatu
berdasarkan apa yang diketahui dan dipahami melalui materi PKn, dan akhirnya
dapat membuat keputusan-keputusan secara demokratis, cerdas dan bertanggung
jawab dalam menghadapi berbagai masalah baik pribadi, masyarakat, bangsa, dan
negara. Secara visual diungkapkan dalam bagan berikut.
|
|
Bagaimana
Warganegara
Bertindak
|
|
Warganegara :
Cerdas
Nasionalis
Demokratis
Religius
Hakekat PKn (Fajar, Arnie: Tesis 2003)
Adapun tujuan mata Pelajaran ini adalah memberikan
kompetensi kepada peserta didik dalam hal : 1) berpikir secara kritis,
rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi
secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3) berkembang secara positif
dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter
masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; dan
4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (Lampiran 3 Permendiknas No. 22 Tahun 2006: 232).
Sehubungan dengan
hal tersebut Somantri, Endang, menyatakan bahwa:
Tujuan utama dari kehendak negara yang memprogramkan pendidikan
kewarganegaraan ini adalah untuk mengembangkan warganegara yang mengenal,
menerima, dan menghayati serta menyadari perannya sebagai pengambil
keputusan yang bertanggung jawab yang berkenaan dengan peradaban dan moral
dalam kehidupan masyarakat yang demokratis seperti perilakunya diatur oleh
prinsip-prinsip moral dalam segala situasi. Secara singkat tujuan yang terfokus
kepada status kewarganegaraannya adalah untuk pengembangan pribadi manusia yang
memiliki kepedulian terhadap pembentukan suatu masyarakat yang adil dan mampu
melindungi orang atau makhluk lain dari kekejaman dan sebagai bangsa yang
merdeka dan demokratis. Di beberapa negara tujuan ini didukung oleh
Undang-undang Dasar, Ketetapan dan peraturan negara masing-masing. (CICED, 1999
: 73)
Berdasarkan
pada tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat diasumsikan bahwa pada
hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan kepada peserta didik dalam
hal tanggung jawabnya sebagai warganegara. Yaitu warga negara yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa;
berpikir kritis, rasional, dan kreatif; berpartisipasi dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; berkembang secara demokrtis; dan
membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar
dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya serta berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia dengan memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi.
Secara singkat tujuan PKn adalah membina peserta didik agar menjadi
warganegara yang baik (good citizens). Hal ini sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional yang dituangkan dalam UU SPN Pasal 3 yang telah dipaparkan
di atas. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tujuan
PKn mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional, yakni berusaha
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Berkaitan dengan
strategi Pembelajaran PKn, Mark, (Somantri,
Numan, 2001 : 313), menyatakan bahwa kesulitan mengajar civic dalam hal ini
dimaknai sebagai mata pelajaran PKn adalah ‘ to steer between dull
memorization of facts on one hand, and broad
unsupported generalization on the other’, dapat diartikan
bahwa guru civic (PKn) harus memadukan hafalan dengan kehidupan yang sebenarnya
dalam masyarakat. Oleh karena itu peserta didik dapat dilatih untuk berpikir
sistematis, kritis, rasional, kreatif,
bersikap dan bertindak demokratis di dalam maupun di luar kelas. Dengan
konsep demikian guru dituntut untuk melatih peserta didik untuk
menemukan suatu isu/masalah atau konsensus yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Sehubungan
dengan hal itu, berdasarkan berbagai literatur yang dikaji dapat dikemukakan hal-hal yang perlu dilakukan
untuk membekali peserta didik dalam pembelajaran mata pelajaran PKn, sebagai
berikut :
1. Pengetahuan tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang meliputi bidang politik, pemerintahan, nilai-moral budaya
bangsa sebagai identitas bangsa, nasionalisme, ekonomi, anti-korupsi, dan
nilai-nilai masyarakat lainnya.
2. Pemahaman
terhadap hak dan tanggung jawab sebagai warganegara Indonesia yang memiliki
identitas/jati diri sebagai bangsa Indonesia.
3. Pengkayaan sumber belajar, bahwa sumber belajar tidak
hanya di dalam kelas dan dari buku teks, melainkan diperkaya dengan pengalaman-pengalaman
belajar mandiri dari peserta didik yang relevan, baik di sekolah, di lingkungan
keluarga, maupun di masyarakat, yang memungkinkan peserta didik dapat belajar
dan menemukan sendiri bagaimana berperan serta dalam lingkungan masyarakat, bangsa,
dan negara dengan menggunakan berbagai media sebagai hasil teknologi.
4. Keteladanan dari nilai-nilai dan prinsip yang
dikembangkan dalam PKn melalui sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga peserta
didik memiliki panutan dalam mewujudkan perilaku yang diharapkan.
5. Hidup bersama dengan orang lain
sebagai satu bangsa, bahwa mata
pelajaran PKn termasuk dalam rumpun Pendidikan IPS, menekankan bagaimana
manusia sebagai warganegara dapat bekerjasama dengan orang lain, saling
menghormati, menghargai, dan hidup berdampingan secara damai untuk mewujudkan
cita-cita/tujuan bangsa dan negara.
Hal ini sesuai dengan konsep pembelajaran yang
dicanangkan oleh United Nation Education and Scientific Organisations (UNESCO),
yaitu learning to know, learning to be, learning to do, and learning to live
together. Artinya belajar untuk mengetahui, belajar untuk mengenali/percaya
pada diri sendiri, belajar untuk melakukan/bertindak, dan belajar untuk hidup
bersama. Dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan (konsep)
dengan benar, peserta didik akan percaya pada diri sendiri dan dapat mengenali
diri sendiri, yang selanjutnya akan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang
telah diketahui dan dipahami tersebut dalam kehidupan bersama di masyarakat.
Oleh karenanya diperlukan praktik belajar kewarganegaraan dan kepribadian.
Praktik
belajar kewarganegaraan dan kepribadian merupakan suatu inovasi pembelajaran
yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan yang
dilandasi karakter bangsa Indonesia melalui pengalaman belajar praktik-empirik.
Dengan adanya praktek, peserta didik diberikan latihan untuk belajar secara
kontekstual. Praktik belajar ini dapat menjadi program pendidikan yang
mendorong kompetensi dan tanggung jawab partisipasi peserta didik, belajar
bagaimana menilai dan mempengaruhi kebijaksanaan umum, memberanikan diri untuk
berperan serta dalam kegiatan antar-peserta didik, antar-sekolah, dan
antar-anggota masyarakat. Pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas yang dapat
dilakukan oleh perorangan, kelompok, kelas, atau sekolah, dan bermanfaat bagi
diri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Dengan
adanya Praktik Belajar Kewarganegaraan ini diharapkan dapat meminimalisasi
kesenjangan antara teori dan praktik kewarganegaraan. Dengan demikian praktik
ini mempunyai kegunaan praktis bagi peserta didik dalam mendalami konsep dan
praktik kewarganegaraan dan kepribadian. Dengan kata lain peserta didik harus
dapat menguasai ilmu tentang kewarganega-raan (sains) dan mampu menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan
keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Dengan demikian Pendidikan
Kewarganegaraan berkait erat dengan pembentukan karakter bangsa yang meliputi civic knowledge, civic virtue, and civic
skill (pengetahuan, karakter kewarganegaraan, dan keterampilan). Ketiga hal
tersebut merupakan karakteristik Mata Pelajaran PKn, sekaligus merupakan bekal
bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidemensional yang memadai
untuk menjadi warga negara yang baik.
Civic
knowledge
berkaitan dengan pengetahuan tentang kewarganegaraan. yakni setiap warga negara
harus memahami terhadap hak-haknya dan
kewajiban yang harus dipenuhi sebagai warga negara. Civic virtue berkaitan
dengan nilai-nilai kebajikan yang diterapkan melalui sikap warga negara yang
harus dimiliki dan ditunjukkan sesuai dengan sistem nilai bangsa Indonesia.
Sistem nilai dimaksudkan adalah keseluruhan norma-norma yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan civic skill berkaitan dengan
praktik kewarganegaraan yang harus
dilakukan berdasarkan sistem nilai dalam bentuk perilaku-perilaku sehari-hari. Dengan
demikian pembelajaran PKn harus dinamis dan mampu menarik perhatian peserta
didik. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada peserta didik untuk
mengembangkan pemhamanan baik materi maupun ketrampilan intelektual (thinking skill), keterampilan sosial (social skill) dan partisipatori dalam
kegiatan sekolah yang berupa intra dan ekstra kurikuler.
Melalui pembelajaran bermakna, peserta didik diharapkan
dapat mengembangkan dan menerapkan keterampilan intelektual, ketrampilan sosial
dan partisipatori yang menghasilkan pemahaman tentang arti pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Disamping itu peserta didik akan
memperoleh keuntungan dan kesempatan dari pembelajaran yang bermakna untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (politics)
dan penyelenggaraan organisasi yang baik (good
governance) pada tingkat kelas dan sekolah mereka sendiri, berpartisipasi
dalam simulasi kegiatan ke parlemen (misalnya: prosedur dengar pendapat dan
judicial di lembaga legislatif), mengamati cara kerja di non-pemerintahan,
belajar bagaimana anggota pemerintahan dan organisasi non-pemerintahan berusaha
mempengaruhi kebijaksanaan umum dan/atau negara, dan bertemu dengan
pejabat-pejabat publik/pemerintahan.
Keterampilan intelektual dalam mata pelajaran PKn tidak
dapat terpisahkan dari materi kewarganegaraan, sebab untuk dapat berpikir secara
kritis tentang suatu isu, seseorang selain harus mempunyai pemahaman yang baik
tentang isu, latar belakang, dan hal-hal komtemporer yang relevan juga harus
memiliki perangkat berpikir intelektual tersebut meliputi kemampuan untuk
menilai posisi, membangun (to-contruct),
dan memberikan justifikasi posisi pada suatu isu. Keterampilan dan kemampuan
berpartisipasi dalam proses politik juga diperlukan bagi peserta didik. Hal ini meliputi
kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan melalui kerjasama dengan
orang lain dengan cara mengetahui tokoh kunci pembuat kebijakan dan keputusan,
membangun koalisi bernegosiasi, mencari konsensus, dan mengendalikan konflik.
D. Keterkaitan Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan
Kewarganegaraan
Ketua MPR Hidayat Nurwahid berpendapat bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya (dalam Syarif S.,2005) termasuk antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan.
Menurut Indonesian Corruption Watch pada diskusi
tentang pendidikan untuk membasmi korupsi yang diselenggarakan tanggal 8
Februari 2007, bahwa ada tiga gagasan yang disampaikan, pertama, korupsi hanya dapat dihapuskan dari kehidupan kita secara
berangsur-angsur. Artinya membasmi korupsi di tanah air ini tidak seperti
membasmi hama ulat di tanaman sekali disemprot dengan pestisida, hama ulat akan
hilang, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus. Kedua, pendidikan membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (intersection) antara pendidikan watak (character) dan Pendidikan
Kewarganegaraan, dimana pendidikan watak terkait dengan pembentukan sikap sesuai dengan sistem nilai
sesuai, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan lebih memfokuskan pada pemahaman
sikap dan perilaku warga negara sesuai hak dan kewajiban seperti amanat Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, pendidikan untuk mengurangi dan atau memberantas korupsi
harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi
menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi dari pendahulunya. Sistem nilai
yang tidak cocok segera diperbaharui atau membuat sistem nilai baru. Sistem nilai
warisan inilah seakan-akan korupsi telah membudaya, tidak putus-putusnya
korupsi terus dilakukan dari generasi ke generasi.
Keterkaitan
antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan dapat ditinjau
dari berbagai aspek, antara lain:
1. Aspek Konsep.
Pendidikan
Anti Korupsi secara konsep merupakan upaya melalaui jalur pendidikan untuk
mengendalikan atau mengurangi serta mengembangkan sikap menolak secara tegas
setiap bentuk korupsi. Sikap tegas menolak setiap tindakan korupsi tidak pernah
terjadi bila kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang
melalui pendidikan. Karena jalur pendidikan memiliki nilai strategis yang
sangat vital membangun karakter bangsa. Sedangkan konsep Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dari kedua konsep
tersebut keterkaitan antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) sangatlah relevan dan tepat, karena keduanya mefokuskan
pada pembentukan sikap yang sesuai sistem nilai yang diterima oleh masyarakat
Indonesia.
2. Aspek
Tujuan.
Salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
di persekolahan adalah berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan
bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
termasuk anti-korupsi. Pendidikan
Anti Korupsi adalah tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan
keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan
sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi (Buchori, Muchtar,
2007). Dengan demikian Pendidikan Anti Korupsi dan PKn terkait erat.
3 Aspek karakteristik.
Karakteristik
Mata Pelajaran PKn adalah pengetahuan, keterampilan, dan karakter
kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan bekal bagi peserta didik untuk
meningkatkan kecerdasan multidemensional yang memadai untuk menjadi warga negara
yang baik. Karakter kewarganegaraan, adalah karakter warga negara yang memahami
akan hak dan kewajibannya. Pendidikan Anti Korupsi juga membina karakter bangsa
melalui pendidikan nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian penddikan anti korupsi
dengan PKn memiliki krakteristik yang sama.
4. Aspek sasaran.
PKn
mengarah kepada terbentuknya manusia yang cerdas, trampil, kreatif, mentaati
peraturan yang berlaku, berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab,
berpikir kritis, logis, inovatif dan mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan
sehari-hari, sebagai warga negara yang memahami hak dan kewajibannya, dan pada
akhirnya menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab (UU NO. 20 Tahun 2003). Pendidikan Anti Korupsi
mendorong sikap anti korupsi. Orang melakukan korupsi berarti tidak mentaati
peraturan yang berlaku, tidak bertanggung jawab untuk kepentingan umum, melanggara
hak dan kewajibannya, karena itu Pendidikan Anti Korupsi terkait erat dengan
PKn
5. Aspek Standar Kelulusan (SKL)
Keterkaitan
antara Mata Pelajaran PKn dengan Pendidikan Anti Korupsi berdasarkan standar
kompetensi lulusan satuan pendidikan, adalah:
a.
Memahami
dan menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
b.
Menampilkan
perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945
c.
Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan kehidupan
demokrasi dan kedaulatan rakyat
d. Menunjukkan
sikap kritis dan apresiatif terhadap dampak globalisasi
e. Memahami
prestasi diri untuk berprestasi sesuai dengan keindividuannya (Perrmendiknas
No. 22 Tahun 2006)
Dari
tujuan PKn (point 2) secara jelas dan tegas menolak korupsi (anti korupsi), ini
menunjukkan bahwa antara Pendidikan Anti Korupsi (PAK) dengan PKn terkaitan
erat.
6. Aspek Standar Kompetensi (SK) & Kompetensi Dasar (KD)
Penanaman
Pndidikan Anti-Korupsi yang tertuang pada Kompetensi Dasar SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/MAK
adalah sebagai berikut:
Jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtida’yah
SK pada
PKn
|
KD pada PKn
|
Kelas
|
Semester
|
2. Memahami peraturan perundang-undangan
tingkat pusat dan daerah
|
2.2 Memberikan contoh peraturan
perundang-undangan tingkat pusat dan daerah, seperti pajak, anti korupsi, lalu lintas, larangan
merokok
|
V
|
1
|
Jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah
Tsanawiyah
SK pada
PKn
|
KD pada
PKn
|
Kelas
|
Semester
|
3. Menampilkan
ketaatan terhadap perundang-undangan nasional
|
3.3 Mentaati peraturan perundang-undangan
nasional
3.4 Mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia
3.5 Mendeskripsikan pengertian anti korupsi dan
instrumen (hukum dan kelembagaan) anti korupsi di Indonesia
|
VIII
|
1
|
Jenjang Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah
Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
SK pada
PKn
|
KD pada PKn
|
Kelas
|
Semester
|
Menampilkan sikap positif terhadap sistem
hukum dan peradilan nasional
|
2.3 Menunjukkan sikap yang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku
2.4 Menganalisis upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia
2.5 Menampilkan peran serta
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
|
X
|
1
|
Berdasarkan analisis pada Standar Isi Mata Pelajaran PKn,
Pendidikan Anti-Korupsi belum maksimal, karena masih sedikit tema-tema yang
ditemukan pada SK atau KD. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis lebih
mendalam terhadap SK dan KD mata pelajaran PKn yang dapat disisipi nilai-nilai Pendidikan
Anti- Korupsi mulai dari pendidikan dasar sampai menengah.
Dari uraian di atas, keterkaitan antara Pendidikan Anti
Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan sangat erat dan tepat. Materi-materi Pendidikan
Anti Korupsi dapat disisipkan pada pokok-pokok materi yang tertuang pada
Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar. Namun tidak semua Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar dapat disisipkan nilai-nilai
Pendidikan Anti Korupsi.
D. Pendidikan Anti Korupsi Melalui Pendidikan
Kewarganegaraan
Pendidikan
antikorupsi bagi peserta didik SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK/MAK akhirnya
memang mengarah pada pendidikan nilai yang ditanamkan melalui proses pembelajaran
sehingga dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik. Nilai yang telah
terinternalisasi diharapkan mampu mempengaruhi sikap serta perilaku peserta
didik. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan
sesuatu. Jadi sikap masih
pilihan kecenderungan seseorang, apabila sudah dipilih dan diimplementasikan
dalam kehidupan secara nyata, merupakan suatu perilaku/perbuatan. Walaupun
sikap sewaktu-waktu dapat berubah dan sewaktu-waktu pula akan memunculkan
perilaku yang kontradiktif antara sikap dan perilakunya, namun upaya
pembentukan karakter/kepribadian yang sesuai nilai-nilai terhadap peserta didik
melalui jalur pendidikan hukumnya wajib dan tak terelakkan lagi.
DAFTAR REFERENSI
Buchori,
Muchtar, 2007, Pendidikan Anti Korupsi,
dimuat dalam Harian Kompas, 21 Februari 2007.
Budi Darma, 25 Oktober 2003, Korupsi, Kompas Hal.
4.
Center
for Indonesian Civic Education (CICED),1999. Workshop On The
Development of Concepts and Concent of
Civic Education for Indonesian Schools. In
collabrotion with : Center for Civic Education (CCE), Calabasas USA Bandung.
Faisal Djabar,
2008, Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat, Komisi pemberantasan Korupsi)
Fajar,
Arnie, 2003, Pengembangan Sikap Nasionalisme dalam Pembelajaran PPKn Melalui
Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M), Tesis.
Gamada Agung, 20 Maret 2007, Is
corruption driven by needs or wants?.
The Jakarta Post. Hal. 6.
jawa pos
dotcom, February 11, 2008
Jeferson Kameo, 31 maret 2003, Menggali akar penyebab korupsi. Media Indonesia. Hal. 21.
King,
Dwight Y, 2000, Cortuption in Indonesia:
A curable cancer? Journal of International Affairs; Spring; (53), 2.
Hal.603 – 624.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk membasmi: Buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi.
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lickona,
Thomas, 1991, Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility, New York: Bantam Books.
National
Council for the Social Studies atau NCSS,1970, Curriculum Standards for Social
Studies. United States of America.
National
Council for the Social Studies. 1994. Expectations of Exellence Curriculum
Standards for Social Studies. United States of America.
Paul Suparno, 11 November 2003, Perampingan PNS sebagai cara pemberantasan. Kompas,
hal. 4.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Sabiqul Khair Syarif S., 2003, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sabiqul Khair Syarif S.,2005, Mahapeserta didik Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Jogjakarta
Sabiqul Khair Syarif S., 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Sabiqul Khair Syarif S., 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kelulusan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Schumpeter,
A. Joseph. 1947, Capitalism, Socialism, and Democracy. edisi ke-2, New
York : Harper.
Somantri,
Numan M. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : Kerjasama
Program Pascasarjana dan FPIPS UPI dengan PT Remaja Rosdakarya.
Stiglitz,
Josep E., 11 Nov, 2002, Conflicts of
interest in eradicating corruption. The Jakarta Post, 6.
Teten Masduki, 26 Januari, 2006, Korupsi jalan terus, kenapa tanya?. Kompas. Hal. 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Von
Aleman, Ulrich, 2004, The unknown depths
of political theory: the case for a multideimensional concept of corruption.
Crime, Law & Social Change (42). 25-34.
Wikipedia,
ensiklopedia bebas, 2007
Wikipedia,
ensiklopedia bebas, Penyimpangan Perilaku, 2008
Wikipedia,
ensiklopedia bebas, Sosiologi, 2008
Williams,
Robert, 1999, New concepts for old?.
Third World Quarterly, Vol. 20. No. 3. Hal. 503-513.
__________,
Kompas, 28 Mei 2002, Kenapa korupsi susah
diberantas. Hal. 4.
__________,
Kompas, 10 September 2002, DPRD Surabaya
digoyang kasus korupsi, Hal.
19.
__________, Kompas, 9 April 2003, Kanibalisme dalam pemberantasan korupsi,
Hal. 8.
__________, Kompas , 15 April 2003, Dipertanyakan, kiriman dana Rp. 15 Miliar ke
rekening anggota DPRD Jawa barat, Hal. 20.
__________, Kompas, 31 Juli 2002, Bedanya pemberian dan suap, Hal. 29.
__________, Kompas, 6 Agusturs 2002, Pungli di Tanjung Priok capai Rp. 3 milyar, Hal. 1
dan 14.
_________, Kompas, 23 Agustus 2008, Tak ada toleransi untuk korupsi, Hal 15.
__________, Media Indonesia, 10 September 2002, DPRD Surabaya digoyang kasus korupsi.
__________, Media Indonesia, 2 Agustus, 2002, Padamu koruptor kami berdiri: perusahaan
pelat merah Indonesia, Hal. A 7.
__________, Republika, 5 Agustus 2008, Pemilu artis dan nepotisme, Hal. 5.
__________, Republika, 21 Agustus 2002, Proyek Cilcis Rp. 1,7 Triliun diduga tak
jelas, Hal 17.