Visitor

Monday, October 29, 2012

MAKALAH PEMBINAAN PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN






PEMBINAAN PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI
MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(PAK – PKn)









DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DIREKTORAT JENDERAL MANAJEMEN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH
KEGIATAN PEMBINAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN KEPRIBADIAN
JAKARTA, 2009


A.    Latar Belakang
 Istilah korupsi saat ini semakin “trend” dan banyak diperbincangkan masyarakat, baik masyarakat kota maupun pedesaan, dari anak-anak sampai pada orang dewasa, bahkan dari elit politik sampai masyarakat awam. Jika ditilik latar belakangnya, korupsi sebenarnya ada sejak masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, masa kemerdekaan baik pada masa oerde lama, orde baru, reformasi, bahkan saat ini (pasca reformasi) korupsi semakin marak, tersistem dan canggih dalam pelaksanaannya. Pemerintah pada masanya telah berupaya melakukan pencegahan dengan berbagai cara seperti dikeluarkan  peraturan perundang-undangan dan penindakan bagi pelaku. Namun demikian, korupsi tetap ada dan berlangsung hingga saat ini seperti mata rantai yang silih berganti selalu muncul di setiap saat.
Permasalahan korupsi yang terjadi di Indonesia, sebagai mana juga di Korea Selatan dan negara komunis pada umumnya terjadi karena dimensi birokrasi sampai dengan budaya. King (2000) menunjukkan bagaimana korupsi dimulai sejak dua dekade lalu melalui kerjasama antara pengusaha Lim Soe Liong dengan Soeharto yang terjadi lebih dari tiga puluh tahun telah menghasilkan kolusi yang saling menguntungkan. Gama Agung (2007) mengajukan dua jenis motivasi yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu kebutuhan dan keinginan. Korupsi dilakukan oleh seseorang karena dengan cara normal tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Di lain pihak korupsi karena keinginan mendorong orang  untuk menjadi serakah. Meskipun demikian kedua jenis motivasi tersebut tidak dapat dilakukan demarkasi secara jelas. Lain halnya dengan Taufiequrachman Ruki, mantan ketua KPK (Wikipedia, ensiklopedia bebas, 2007) yang mengemukakan jenis motivasi menjadi corruption by needs, corrupstion by greeds dan corruption by opportunities. Namun demikian maksud dari dua pendapat tersebut relatif senada bahwa korupsi dilakukan oleh seseorang karena dorongan kebutuhan, untuk memenuhi kebutuan tersebut muncul keinginan untuk serakah, dan ketika kedua dorongan tersebut menguat ditambah adanya kesempatan maka terjadilah perilaku korupsi yang tak terelakkan lagi.
Korupsi dapat juga terjadi karena faktor budaya. Argumentasi yang dikemukakan oleh Peter Vershezen pada Simposium Jurnal Antropologi III Di Denpasar pada pertenganhan Juli 2002 terdapat perbedaan antara suap dan pemberian. Suap mempunyai kontasi negatif karena erat kaitannya dengan korup, sedangkan pemberian mempunyai konotasi kultural yakni sebagai ungkapan rasa hormat atau kasih sayang (Kompas, 31 Juli 2002). Namun pemberian tidak lagi mempunyai konotasi kultural ketika hal itu terjadi antara bawahan dengan atasan atau birokrat yang mempunyai kewenangan dengan rekanan. Pemberian tersebut masuk dalam kategori gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya (UU No.31/1999 yo UU No. 20/2001 Bab penjelasan Pasal 12B Ayat 1). 
Upaya pencegahan telah dilaksanakan oleh pemerintah yaitu dengan membentuk lembaga pemberangus korupsi, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi (KPK). Tindakan terhadap pelaku/koruptor juga kerap dilakukan dengan menangkap dan menjebloskannya ke penjara. Namun tindakan tersebut tidak membuat jera masyarakat, koruptor junior terus bermunculan, mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.
Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan, namun oleh karena korupsi merupakan multidimensi maka solusi untuk memberantas korupsi tidak harus melalui jalur peraturan perundang-undangan atau hukum saja. Pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan membangun filosofi baru berupa penyemaian nalar dan nilai-nilai baru bebas korupsi melalui jalur pendidikan, karena pendidikan memiliki posisi sangat vital dalam upaya membangun sikap anti korupsi. Sektor pendidikan formal dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi sebagai preventive strategi. Dalam hal ini peserta didik dijadikan sebagai target sekaligus diberdayakan sebagai penekan lingkungan agar tidak permissive to corruption dan bersama-sama bangkit melawan korupsi.
Peserta didik adalah mereka yang dalam waktu relatif singkat akan segera bersentuhan dengan beberapa aspek pelayanan publik, mereka adalah “student today leader tomorrow”. Mereka  merupakan generasi yang akan mengganti generasi sekarang menduduki berbagai jabatan baik di birokrasi maupun perusahaan dan sebagian diantara mereka akan menjadi pengambil kebijakan. Adanya persepsi bahwa korupsi adalah tindakan yang melanggar dan bertentangan dengan berbagai norma dan peraturan perundang-undangan, diharapkan akan diikuti berbagai tindakan dan kebijakan ketika sebagian dari mereka menjadi pengambil kebijakan di masa depan. Hal ini dapat terwujud apabila mereka sudah dibekali pemahaman terhadap lingkup, modus, dan dampak dari korupsi baik dalam lingkup yang paling dekat dan skala terkecil hingga lingkup makro dan mencakup skala besar. 
Selain itu, ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan anti-korupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia. Jajak pendapat itu menjaring pula pendapat masyarakat seputar pentingnya pendidikan antikorupsi. Masyarakat berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan seputar korupsi dan bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi terhadap hukum, serta memutus mata rantai korupsi. Selanjutnya, masyarakat berkeinginan agar upaya pendidikan anti-korupsi berjalan paralel dengan upaya lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi pengawasan yang ketat, sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara berkala dan berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam birokrasi (Djabar, 2008).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Mananjemen Pendidikan Dasar dan Menengah menyelenggarakan Pendidikan Anti-Korupsi melalui Kegiatan Pembinaan Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian untuk satuan pendidikan tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

B.  Pendidikan Anti Korupsi (PAK)
Korupsi dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Korupsi seakan-akan sudah membudaya di negeri ini, karena sejak sebelum penjajahan Belanda (masa kerajaan di nusantara) korupsi sudah ada. Anderson (1972) mengatakan bahwa sebelum  jaman penjajahan (jaman kerajaan di nusantara), jaman kemerdekaan 1945 hingga kini masih ada korupsi, walaupun sudah ada upaya-upaya melalui sistem nilai baru  untuk memberantas korupsi. Sejalan pendapatnya King (2000) menambahkan bahwa korupsi malah merajalela saat penjajah Belanda sampai Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan 1945. Herbert Peith (1962) menuturkan bahwa lepas dari belenggu penjajah, masih terdapat korupsi, namun sementara waktu  korupsi menurun. Para pengamat menganalisis, bahwa hal itu disebabkan oleh masih tingginya idealisme yang dimiliki oleh kalangan birokrat, pejuang dan penggerak revolusi masih bersih, idealisme dan nasionalisme yang lagi dalam puncaknya (Buchori, 2007). Sehingga orang masih enggan atau malu akan melakukan korupsi.
Pasca reformasi, korupsi semakin menggejala dan semakin tersistem karena banyak melibatkan orang, instansi ataupun organisasi sosial serta LSM. Terbukti di media massa menunjukkan banyak pejabat negara, pimpinan lembaga, LSM terlibat kasus korupsi dan banyak pula yang sudah divonis dan dipenjarakan. Namun tindakan tegas yang dilakukan pemerintah sepertinya tidak memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku korupsi. Ini menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan korupsi terkait erat dengan sikap mental seseorang terhadap sistem nilai yang diwarisi. Oleh karena itu Pendidikan Anti Korupsi sangat penting dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan harapan agar generasi muda secara sadar mampu membangun sistem nilai yang baru yaitu anti korupsi.
Pendidikan Anti-Korupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang, dan  melalui jalur ini lebih tersistem serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku anti korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang diwarisi (korupsi) sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap pernjalanan bangsa.
Sistem nilai adalah keseluruhan norma-norma etika yang dijadikan pedoman oleh bangsa untuk mengatur perilaku dari semula sikap membiar-kan, memahami, dan memaafkan korupsi ke sikap menolak secara tegas dan ini hanya akan terjadi setelah lahir generasi yang mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dalam sistem yang mereka warisi dan mampu memperbaharui sistem nilai warisan itu berdasarkan situasi baru (Buchori, Muchtar, 2007 dikutif dari Kompas, 21 Februari 2007). Pada dasarnya sistem nilai yang lebih baik, datang dari berbagai pengalaman nyata dari perjalanan suatu bangsa yang bersifat dramatis yang lahir dari kontemplasi  mendalam mengenai makna aneka peristiwa kehidupan yang dijumpai selama suatu kurun waktu. Dalam konteks pendidikan, ” mencabut korupsi sampai se akar-akarnya” berarti melakukan serangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi. Oleh karena itu harus dilakukan usaha-usaha untuk melahirkan perubahan radikal dalam sikap bangsa terhadap korupsi.
Berdasarkan uraian tersebut, Pendidikan Anti Korupsi menfokuskan pada penanaman nilai-nilai  pada generasi muda, sehingga akan muncul sistem nilai baru yang terinternalisasi pada diri generasi muda sebagai pedoman hidup (tidak melakukan korupsi) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai Anti-Korupsi yang perlu ditanamkan kepada generasi mudah melalui jalur pendidikan yang direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli (sembilan nilai).
Franz Magnis Suseno (dalam Djabar, 2008) mengemukakan, terdapat tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Peserta didik perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk. Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan. Tanggung jawab berarti teguh dan tekun melaksanakan tugas/kewajiban hingga tuntas. Misalnya, peserta didik diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab peserta didik terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia (Faisal Djabar, 2008).
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 dinyatakan secara eksplisit bahwa:   “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”  Dengan demikian, pembinaan pendidikan anti-korupsi pada jalur pendidikan di seluruh satuan pendidikan (sekolah) merupakan wahana untuk mendukung dan mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut.
Untuk mewujudkan Pendidikan Anti-Korupsi,  pendidikan di sekolah harus diorientasikan pada tataran moral action, agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence) saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action.  Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.   Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.  Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain.  Kecerdasan sosial,  yaitu memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerja sama, senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spritual, yaitu memiliki kemampuan iman yang anggun, merasa selalu diawasi oleh Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan kinestetik,  adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani, tumbuh dari rizki yang hahal, dan sebagainya.  Maka sosok manusia yang mengembangkan berbagai kecerdasan tersebut,  diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi atau bersikap anti korupsi.
Karena proses pembinaan yang berkelanjutan dimulai dari proses moral knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action, maka implementasi pembinaannya perlu ditindaklanjuti dengan membangun ”kantin kejujuran” di sekolah  sebagai praktik moral action yang harus dirancang sesuai dengan muatan sifat edukasi. Hasil yang diharapkan dari intervensi di jalur pendidikan adalah: Kaum muda khususnya pelajar dapat lebih memahami tindak pidana korupsi, dan mulai berani berkata “TIDAK' untuk korupsi, dan pada gilirannya dapat mewarnai, mendorong masyarakat dan lingkungan sekitarnya untuk bersama-sama bangkit melawan korupsi. Dengan kondisi demikian diharapkan dapat membawa negeri ini keluar dari perangkap korupsi serta mengembalikan kewibawaan serta harga diri bangsa.

C.  Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Secara kebijakan PKn adalah nama salah satu mata pelajaran sebagai muatan wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Pasal 37 Ayat 1 UU SPN).  Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor  22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi ditegaskan bahwa PKn termasuk cakupan kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Oleh karena itu kehidupan yang demokratis dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu dikenal, dipahami, diinternali-sasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu perlu pula ditanamkan kesadaran wawasan kebangsaan, jiwa patriotisme dan bela negara, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sedangkan secara konsep, PKn merupakan keseluruhan program sekolah, seperti yang dikemukakan Jack Allen bahwa:
Citizenship Education, properly defined, as the product, of the entire program of the school, certainly not simply of the social studies program, and assuredly not merely of a course of civics. But civics has an important function to perform, it confronts the young adolescent for the first time in his school experience with a complete view of citizenship functions, as rights and responsibilities in democratic context. (Somantri, Numan, 2001: 283).

Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa PKn merupakan hasil dari keseluruhan program sekolah yang meliputi pembelajaran, model/metode pembelajaran, aktifitas peserta didik, pengalaman peserta didik, dan fungsi peserta didik sebagai warganegara dengan segala hak dan tanggung jawab-nya dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian PKn bukan hanya mempelajari materi kewarganegaraan, melainkan harus melakukan sesuatu sesuai dengan hak dan kewajibannya, dan secara lebih luas meliputi pengaruh belajar di luar kelas/sekolah/masyarakat, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya dengan mempelajari PKn diharapkan setiap peserta didik dapat menjadi warga negara yang baik, memahami hak dan kewajibannya yang diwujudkan melalui partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam suasana yang demokratis dengan tetap berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
National Council for the Social Studies atau NCSS (1970: 10) merumuskan bahwa PKn merupakan gabungan dari seluruh hal positif yang menunjukkan peran serta warga negara terhadap negaranya. PKn bukan hanya dipelajari peserta didik di dalam kelas, namun dapat dipelajari di lingkungan masyarakat dari kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga sampai dengan kelompok masyarakat secara luas yaitu bangsa dan negara. Dengan demikian setelah mempelajari PKn diharapkan peserta didik dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara yang baik (good citizenship). Pentingnya peran warga negara didukung oleh Quigley dan Hoar (1999: 124) bahwa peran warga negara dalam perkembangan budaya politik ditujukan untuk demokrasi, artinya warga negara memiliki kewajiban untuk memelihara dan memperbaiki lembaga-lembaga demokrasi. Dengan demikian, PKn merupakan program pendidikan yang digunakan untuk membantu generasi muda (peserta didik) memperoleh pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan negara seperti pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga, hak asasi manusia, demokrasi, hukum dan peradilan serta dapat berpartisipasi aktif secara kritis analitis, bersikap dan bertindak secara demokratis.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna PKn (Indonesia) adalah pengorganisasian dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan penekanan pada pengetahuan dan kemampuan dasar tentang hubungan antar warganegara dan warganegara dengan negara yang dilandasi keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai luhur dan moral budaya bangsa, memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dengan memperhatikan keragaman agama, sosio-kultural, bahasa, dan suku bangsa, dan memiliki jiwa demokratis yang diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dengan kata lain bahwa materi PKn terdiri dari beberapa disiplin ilmu  yang memerlukan  pengorganisasian materi secara sistematis dan pedagogik yang dapat dilihat pada bagan berikut.
                                                                          
                                                          Hukum
 
                                    Politik                                                                                            
                                                                         Tatanegara
                                                                                            
                          Humaniora                 PKn
                                                                                                                           
                                                                                                Psikologi
                             Moral
      Pancasila                                  Nilai-nilai                                                                                        
                                               Disiplin        Budi Pekerti         
                                           Ilmu lainnya      
                                                             
                        Pengorganisasian PKn (Fajar, Arnie: Tesis 2003)

            Selanjutnya, secara filosofis PKn adalah mengkaji bagaimana warganegara bertindak, dalam arti melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diketahui dan dipahami melalui materi PKn, dan akhirnya dapat membuat keputusan-keputusan secara demokratis, cerdas dan bertanggung jawab dalam menghadapi berbagai masalah baik pribadi, masyarakat, bangsa, dan negara. Secara visual diungkapkan dalam bagan berikut.
   Bagaimana Warganegara
Bertindak
 
 


PKn
 
 
           
 




 



      Warganegara :
                                                    Cerdas
                                                    Nasionalis
                                               Demokratis
                                                        Religius

Hakekat PKn (Fajar, Arnie: Tesis 2003)
Adapun tujuan mata Pelajaran ini adalah memberikan kompetensi kepada peserta didik dalam hal : 1) berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; 2) berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya; dan 4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Lampiran 3 Permendiknas No. 22 Tahun 2006: 232).
Sehubungan dengan hal tersebut Somantri, Endang, menyatakan bahwa:
     Tujuan utama dari kehendak negara yang memprogramkan pendidikan kewarganegaraan ini adalah untuk mengembangkan warganegara yang mengenal, menerima, dan menghayati serta menyadari perannya sebagai pengambil keputusan yang bertanggung jawab yang berkenaan dengan peradaban dan moral dalam kehidupan masyarakat yang demokratis seperti perilakunya diatur oleh prinsip-prinsip moral dalam segala situasi. Secara singkat tujuan yang terfokus kepada status kewarganegaraannya adalah untuk pengembangan pribadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap pembentukan suatu masyarakat yang adil dan mampu melindungi orang atau makhluk lain dari kekejaman dan sebagai bangsa yang merdeka dan demokratis. Di beberapa negara tujuan ini didukung oleh Undang-undang Dasar, Ketetapan dan peraturan negara masing-masing. (CICED, 1999 : 73)

            Berdasarkan pada tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat diasumsikan bahwa pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warganegara. Yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa;  berpikir kritis, rasional, dan kreatif; berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; berkembang secara demokrtis; dan membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya serta berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.  Secara singkat tujuan PKn adalah membina peserta didik agar menjadi warganegara yang baik (good citizens). Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam UU SPN Pasal 3 yang telah dipaparkan di atas. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tujuan PKn mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional, yakni berusaha mengembangkan potensi peserta didik secara optimal berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945.
Berkaitan dengan strategi Pembelajaran PKn, Mark, (Somantri, Numan, 2001 : 313), menyatakan bahwa kesulitan mengajar civic dalam hal ini dimaknai sebagai mata pelajaran PKn adalah ‘ to steer between dull memorization of facts on one hand, and broad unsupported generalization on the other’, dapat diartikan bahwa guru civic (PKn) harus memadukan hafalan dengan kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat. Oleh karena itu peserta didik dapat dilatih untuk berpikir sistematis, kritis, rasional,  kreatif, bersikap dan bertindak demokratis di dalam maupun di luar kelas. Dengan konsep demikian guru dituntut untuk melatih peserta didik untuk menemukan suatu isu/masalah atau konsensus yang ada dalam kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan hal itu, berdasarkan berbagai literatur yang dikaji dapat  dikemukakan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membekali peserta didik dalam pembelajaran mata pelajaran PKn, sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang meliputi bidang politik, pemerintahan, nilai-moral budaya bangsa sebagai identitas bangsa, nasionalisme, ekonomi, anti-korupsi, dan nilai-nilai masyarakat lainnya.
2. Pemahaman terhadap hak dan tanggung jawab sebagai warganegara Indonesia yang memiliki identitas/jati diri sebagai bangsa Indonesia.
3. Pengkayaan sumber belajar, bahwa sumber belajar tidak hanya di dalam kelas dan dari buku teks, melainkan diperkaya dengan pengalaman-pengalaman belajar mandiri dari peserta didik yang relevan, baik di sekolah, di lingkungan keluarga, maupun di masyarakat, yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dan menemukan sendiri bagaimana berperan serta dalam lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara dengan menggunakan berbagai media sebagai hasil teknologi.
4. Keteladanan dari nilai-nilai dan prinsip yang dikembangkan dalam PKn melalui sikap dan perilaku sehari-hari, sehingga peserta didik memiliki panutan dalam mewujudkan perilaku yang diharapkan. 
5. Hidup  bersama  dengan  orang  lain sebagai satu bangsa,  bahwa mata pelajaran PKn termasuk dalam rumpun Pendidikan IPS, menekankan bagaimana manusia sebagai warganegara dapat bekerjasama dengan orang lain, saling menghormati, menghargai, dan hidup berdampingan secara damai untuk mewujudkan cita-cita/tujuan bangsa dan negara.
 Hal ini sesuai dengan konsep pembelajaran yang dicanangkan oleh United Nation Education and Scientific Organisations (UNESCO), yaitu learning to know, learning to be, learning to do, and learning to live together. Artinya belajar untuk mengetahui, belajar untuk mengenali/percaya pada diri sendiri, belajar untuk melakukan/bertindak, dan belajar untuk hidup bersama. Dengan pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan (konsep) dengan benar, peserta didik akan percaya pada diri sendiri dan dapat mengenali diri sendiri, yang selanjutnya akan melakukan sesuatu berdasarkan apa yang telah diketahui dan dipahami tersebut dalam kehidupan bersama di masyarakat. Oleh karenanya diperlukan praktik belajar kewarganegaraan dan kepribadian.
            Praktik belajar kewarganegaraan dan kepribadian merupakan suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan yang dilandasi karakter bangsa Indonesia melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Dengan adanya praktek, peserta didik diberikan latihan untuk belajar secara kontekstual. Praktik belajar ini dapat menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi dan tanggung jawab partisipasi peserta didik, belajar bagaimana menilai dan mempengaruhi kebijaksanaan umum, memberanikan diri untuk berperan serta dalam kegiatan antar-peserta didik, antar-sekolah, dan antar-anggota masyarakat. Pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, kelas, atau sekolah, dan bermanfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Dengan adanya Praktik Belajar Kewarganegaraan ini diharapkan dapat meminimalisasi kesenjangan antara teori dan praktik kewarganegaraan. Dengan demikian praktik ini mempunyai kegunaan praktis bagi peserta didik dalam mendalami konsep dan praktik kewarganegaraan dan kepribadian. Dengan kata lain peserta didik harus dapat menguasai ilmu tentang kewarganega-raan (sains) dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Dengan demikian Pendidikan Kewarganegaraan berkait erat dengan pembentukan karakter bangsa yang meliputi civic knowledge, civic virtue, and civic skill (pengetahuan, karakter kewarganegaraan, dan keterampilan). Ketiga hal tersebut merupakan karakteristik Mata Pelajaran PKn, sekaligus merupakan bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidemensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik.
Civic knowledge berkaitan dengan pengetahuan tentang kewarganegaraan. yakni setiap warga negara harus memahami terhadap hak-haknya  dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai warga negara. Civic virtue berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan yang diterapkan melalui sikap warga negara yang harus dimiliki dan ditunjukkan sesuai dengan sistem nilai bangsa Indonesia. Sistem nilai dimaksudkan adalah keseluruhan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan  civic skill berkaitan dengan praktik  kewarganegaraan yang harus dilakukan berdasarkan sistem nilai dalam bentuk perilaku-perilaku sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran PKn harus dinamis dan mampu menarik perhatian peserta didik. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan pemhamanan baik materi maupun ketrampilan intelektual (thinking skill), keterampilan sosial (social skill) dan partisipatori dalam kegiatan sekolah yang berupa intra dan ekstra kurikuler.
Melalui pembelajaran bermakna, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan menerapkan keterampilan intelektual, ketrampilan sosial dan partisipatori yang menghasilkan pemahaman tentang arti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Disamping itu peserta didik akan memperoleh keuntungan dan kesempatan dari pembelajaran yang bermakna untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (politics) dan penyelenggaraan organisasi yang baik (good governance) pada tingkat kelas dan sekolah mereka sendiri, berpartisipasi dalam simulasi kegiatan ke parlemen (misalnya: prosedur dengar pendapat dan judicial di lembaga legislatif), mengamati cara kerja di non-pemerintahan, belajar bagaimana anggota pemerintahan dan organisasi non-pemerintahan berusaha mempengaruhi kebijaksanaan umum dan/atau negara, dan bertemu dengan pejabat-pejabat publik/pemerintahan.
Keterampilan intelektual dalam mata pelajaran PKn tidak dapat terpisahkan dari materi kewarganegaraan, sebab untuk dapat berpikir secara kritis tentang suatu isu, seseorang selain harus mempunyai pemahaman yang baik tentang isu, latar belakang, dan hal-hal komtemporer yang relevan juga harus memiliki perangkat berpikir intelektual tersebut meliputi kemampuan untuk menilai posisi, membangun (to-contruct), dan memberikan justifikasi posisi pada suatu isu. Keterampilan dan kemampuan berpartisipasi dalam proses politik juga diperlukan bagi peserta didik. Hal ini meliputi kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan melalui kerjasama dengan orang lain dengan cara mengetahui tokoh kunci pembuat kebijakan dan keputusan, membangun koalisi bernegosiasi, mencari konsensus, dan mengendalikan konflik.

D.  Keterkaitan Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan
Ketua MPR Hidayat Nurwahid berpendapat bahwa pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya (dalam Syarif S.,2005)  termasuk antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan.
Menurut  Indonesian Corruption Watch pada diskusi tentang pendidikan untuk membasmi korupsi yang diselenggarakan tanggal 8 Februari 2007, bahwa ada tiga gagasan yang disampaikan, pertama, korupsi hanya dapat dihapuskan dari kehidupan kita secara berangsur-angsur. Artinya membasmi korupsi di tanah air ini tidak seperti membasmi hama ulat di tanaman sekali disemprot dengan pestisida, hama ulat akan hilang, tetapi harus dilakukan secara terus-menerus. Kedua, pendidikan membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (intersection) antara pendidikan watak (character) dan Pendidikan Kewarganegaraan, dimana pendidikan watak terkait dengan  pembentukan sikap sesuai dengan sistem nilai sesuai, sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan lebih memfokuskan pada pemahaman sikap dan perilaku warga negara sesuai hak dan kewajiban seperti amanat  Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, pendidikan untuk mengurangi dan atau memberantas korupsi harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi dari pendahulunya. Sistem nilai yang tidak cocok segera diperbaharui atau membuat sistem nilai baru. Sistem nilai warisan inilah seakan-akan korupsi telah membudaya, tidak putus-putusnya korupsi terus dilakukan dari generasi ke generasi.   
Keterkaitan antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:
1.   Aspek Konsep.
Pendidikan Anti Korupsi secara konsep merupakan upaya melalaui jalur pendidikan untuk mengendalikan atau mengurangi serta mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk korupsi. Sikap tegas menolak setiap tindakan korupsi tidak pernah terjadi bila kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang melalui pendidikan. Karena jalur pendidikan memiliki nilai strategis yang sangat vital membangun karakter bangsa. Sedangkan konsep Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dari kedua konsep tersebut keterkaitan antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sangatlah relevan dan tepat, karena keduanya mefokuskan pada pembentukan sikap yang sesuai sistem nilai yang diterima oleh masyarakat Indonesia.
 2.  Aspek Tujuan.
 Salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan adalah berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk anti-korupsi. Pendidikan Anti Korupsi adalah tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi (Buchori, Muchtar, 2007). Dengan demikian Pendidikan Anti Korupsi dan PKn terkait erat.
3    Aspek karakteristik.
Karakteristik Mata Pelajaran PKn adalah pengetahuan, keterampilan, dan karakter kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidemensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik. Karakter kewarganegaraan, adalah karakter warga negara yang memahami akan hak dan kewajibannya. Pendidikan Anti Korupsi juga membina karakter bangsa melalui pendidikan nilai-nilai kebaikan. Dengan demikian penddikan anti korupsi dengan PKn memiliki krakteristik yang sama.
4.   Aspek sasaran.
PKn mengarah kepada terbentuknya manusia yang cerdas, trampil, kreatif, mentaati peraturan yang berlaku, berpartisipasi secara aktif, bertanggung jawab, berpikir kritis, logis, inovatif dan mampu memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai warga negara yang memahami hak dan kewajibannya, dan pada akhirnya  menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (UU NO. 20 Tahun 2003). Pendidikan Anti Korupsi mendorong sikap anti korupsi. Orang melakukan korupsi berarti tidak mentaati peraturan yang berlaku, tidak bertanggung jawab untuk kepentingan umum, melanggara hak dan kewajibannya, karena itu Pendidikan Anti Korupsi terkait erat dengan PKn
5.   Aspek Standar Kelulusan (SKL)
Keterkaitan antara Mata Pelajaran PKn dengan Pendidikan Anti Korupsi berdasarkan standar kompetensi lulusan satuan pendidikan, adalah:
a.      Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma  kebiasaan, adat istiadat, dan peraturan,  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
b.      Menampilkan perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
c.      Menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi dan kedaulatan rakyat
d.      Menunjukkan sikap kritis dan apresiatif terhadap dampak globalisasi
e.      Memahami prestasi diri untuk berprestasi sesuai dengan keindividuannya (Perrmendiknas No. 22 Tahun 2006)
Dari tujuan PKn (point 2) secara jelas dan tegas menolak korupsi (anti korupsi), ini menunjukkan bahwa antara Pendidikan Anti Korupsi (PAK) dengan PKn terkaitan erat.

6.     Aspek Standar Kompetensi (SK) & Kompetensi Dasar (KD)
Penanaman Pndidikan Anti-Korupsi yang tertuang pada Kompetensi Dasar SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/MAK adalah sebagai berikut:
Jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtida’yah
SK pada PKn
KD pada PKn
Kelas
Semester
2.  Memahami peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan  daerah
2.2  Memberikan contoh peraturan perundang-undangan tingkat pusat dan daerah, seperti  pajak, anti korupsi, lalu lintas, larangan merokok
V
1
Jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
SK pada PKn
KD pada PKn
Kelas
Semester
3. Menampilkan ketaatan terhadap perundang-undangan nasional
3.3  Mentaati peraturan perundang-undangan nasional
3.4  Mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
3.5  Mendeskripsikan pengertian anti korupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) anti korupsi di Indonesia
VIII
1
Jenjang Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan
SK pada PKn
KD pada PKn
Kelas
Semester
Menampilkan sikap positif terhadap sistem hukum dan peradilan nasional

2.3   Menunjukkan sikap yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

2.4   Menganalisis upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

2.5   Menampilkan peran serta dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

X
1
Berdasarkan analisis pada Standar Isi Mata Pelajaran PKn, Pendidikan Anti-Korupsi belum maksimal, karena masih sedikit tema-tema yang ditemukan pada SK atau KD. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis lebih mendalam terhadap SK dan KD mata pelajaran PKn yang dapat disisipi nilai-nilai Pendidikan Anti- Korupsi mulai dari pendidikan dasar sampai menengah.
Dari uraian di atas, keterkaitan antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan sangat erat dan tepat. Materi-materi Pendidikan Anti Korupsi dapat disisipkan pada pokok-pokok materi yang tertuang pada Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar. Namun tidak semua Standar Kompetensi  dan Kompetensi Dasar dapat disisipkan nilai-nilai Pendidikan Anti Korupsi.

D.  Pendidikan Anti Korupsi Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan antikorupsi bagi peserta didik SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK/MAK akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai yang ditanamkan melalui proses pembelajaran sehingga dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik. Nilai yang telah terinternalisasi diharapkan mampu mempengaruhi sikap serta perilaku peserta didik. Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Jadi sikap masih pilihan kecenderungan seseorang, apabila sudah dipilih dan diimplementasikan dalam kehidupan secara nyata, merupakan suatu perilaku/perbuatan. Walaupun sikap sewaktu-waktu dapat berubah dan sewaktu-waktu pula akan memunculkan perilaku yang kontradiktif antara sikap dan perilakunya, namun upaya pembentukan karakter/kepribadian yang sesuai nilai-nilai terhadap peserta didik melalui jalur pendidikan hukumnya wajib dan tak terelakkan lagi.
 
DAFTAR REFERENSI
 
Buchori, Muchtar, 2007, Pendidikan Anti Korupsi, dimuat dalam Harian Kompas, 21 Februari 2007.
Budi Darma, 25 Oktober 2003, Korupsi, Kompas Hal. 4.
Center for Indonesian Civic Education (CICED),1999. Workshop On The Development  of Concepts and Concent of Civic Education for Indonesian Schools.  In collabrotion with : Center for Civic Education (CCE), Calabasas USA Bandung.
Faisal Djabar, 2008, Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat, Komisi pemberantasan Korupsi)
Fajar, Arnie, 2003, Pengembangan Sikap Nasionalisme dalam Pembelajaran PPKn Melalui Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat (S-T-M), Tesis.
Gamada Agung, 20 Maret 2007, Is corruption driven by needs or wants?. The Jakarta Post. Hal. 6.
jawa pos dotcom, February 11, 2008
Jeferson Kameo, 31 maret 2003, Menggali akar penyebab korupsi. Media Indonesia. Hal. 21.
King, Dwight Y, 2000, Cortuption in Indonesia: A curable cancer? Journal of International Affairs; Spring; (53), 2. Hal.603 – 624.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk membasmi: Buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lickona, Thomas, 1991, Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books.
National Council for the Social Studies atau NCSS,1970, Curriculum Standards for Social Studies. United States of America.
National Council for the Social Studies. 1994. Expectations of Exellence Curriculum Standards for Social Studies. United States of America.
Paul Suparno, 11 November 2003, Perampingan PNS sebagai cara pemberantasan. Kompas, hal. 4.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
Sabiqul Khair Syarif S., 2003, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sabiqul Khair Syarif S.,2005, Mahapeserta didik Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, Jogjakarta 
Sabiqul Khair Syarif S., 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Sabiqul Khair Syarif S., 2006, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kelulusan Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Schumpeter, A. Joseph. 1947, Capitalism, Socialism, and Democracy. edisi ke-2, New York : Harper.
Somantri, Numan M. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : Kerjasama Program Pascasarjana dan FPIPS UPI dengan PT Remaja Rosdakarya.
Stiglitz, Josep E., 11 Nov, 2002, Conflicts of interest in eradicating corruption. The Jakarta Post, 6.
Teten Masduki, 26 Januari, 2006, Korupsi jalan terus, kenapa tanya?. Kompas. Hal. 6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Von Aleman, Ulrich, 2004, The unknown depths of political theory: the case for a multideimensional concept of corruption. Crime, Law & Social Change (42). 25-34.
Wikipedia, ensiklopedia bebas, 2007
Wikipedia, ensiklopedia bebas, Penyimpangan Perilaku, 2008
Wikipedia, ensiklopedia bebas, Sosiologi, 2008
Williams, Robert, 1999, New concepts for old?. Third World Quarterly, Vol. 20. No. 3. Hal. 503-513.
__________, Kompas, 28 Mei 2002, Kenapa korupsi susah diberantas. Hal. 4.
__________, Kompas, 10 September 2002, DPRD Surabaya digoyang kasus korupsi,  Hal. 19.
__________, Kompas, 9 April 2003, Kanibalisme dalam pemberantasan korupsi, Hal. 8.
__________, Kompas , 15 April 2003, Dipertanyakan, kiriman dana Rp. 15 Miliar ke rekening anggota DPRD Jawa barat, Hal. 20.
__________, Kompas, 31 Juli 2002, Bedanya pemberian dan suap, Hal. 29.
__________, Kompas, 6 Agusturs 2002, Pungli di Tanjung Priok capai Rp. 3 milyar, Hal. 1 dan 14.
_________, Kompas, 23 Agustus 2008, Tak ada toleransi untuk korupsi, Hal 15.
__________, Media Indonesia, 10 September 2002, DPRD Surabaya digoyang kasus korupsi.
__________, Media Indonesia, 2 Agustus, 2002, Padamu koruptor kami berdiri: perusahaan pelat merah Indonesia, Hal. A 7.
__________, Republika, 5 Agustus 2008, Pemilu artis dan nepotisme, Hal. 5.
__________, Republika, 21 Agustus 2002, Proyek Cilcis Rp. 1,7 Triliun diduga tak jelas, Hal 17.



0 komentar

Post a Comment